Kamis, 16 Agustus 2012

MANUSIA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZALI


I.            PENDAHULUAN
Di dalam dunia kehidupan terkhusus dalam pendidikan, konsep manusia sangat penting artinya di dalam suatu sistem pemikiran dan di dalam kerangka berpikir dari seorang pemikir. Sebab ia termasuk bagian dari pandangan hidup. Karena itu, meskipun manusia tetap diakui sebagai misteri yang tidak pernah dapat dimengerti secara tuntas, keinginan untuk mengetahui hakikatnya ternyata tidak pernah berhenti. Menurut R.G. Collingwood konsep manusia penting bukan demi pengetahuan akan manusia itu saja, tetapi yang lebih penting adalah karena ia merupakan syarat bagi pembenaran kritis dan landasan yang aman bagi pengetahuan-pengetahuan manusia.[1] Di dalam sejarah pemikiran islam, pandangan yang mendasar tentang manusia ditemukan pada filsafat dan tasawuf. Namun, menurut Muhammad Yasir Nasution pengaruh Fuqaha dan Mutakallimin yang kuat di dunia Islam menyebabkan pandangan mereka yang negatif terhadap filsafat berkembang, sehingga orang takut berfilsafat. Sehingga serangan yang lebih keras dan sistematis terhadap filsafat adalah yang dilakukan oleh Abu Hamid Al-Ghazali (1058-1111 M).[2]
Konsep pemikiran Al-Ghazali tentang manusia sangat komprehensif. Ia menyatakan pengenalan hakikat diri adalah dasar untuk mengenal Tuhan. Al-Ghazali merupakan salah satu ulama yang juga pemikir besar muslim yang karya-karyanya banyak menyinggung masalah manusia. Beliau merupakan orang yang ulet dalam mencari dan menggeluti segala pengetahuan yang hendak di ketahuinya untuk mencapai keyakinan dan hakikat dari suatu kebenaran.
  Berdasarkan hal ini, maka dalam tulisan ini akan dijelaskan tentang Manusia dalam Perspektif Al-Ghazali yang meliputi, diantaranya : (1) Hakikat Manusia, (2) Hikayat Insan, dan (3) Sifat Manusia, Pengembangan dan Pengetahuannya. Semoga dengan kajian ini kita dapat mengetahui pola pemikiran dari Al-Ghazali tentang manusia yang dapat membangkitkan kembali pemikiran intelektual dari kaum muslim.

II.         HAKIKAT MANUSIA
Hakikat berasal dari kata Arab Al-haqiqat, yang berarti kebenaran dan esensi. Dalam pengertian ini, Muhammad Yasir Nasution mengungkapkan bahwa hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah. Yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya sendiri dan membedakannya dari yang lainnya.[3] Lebih lanjut, yang mendasari jalan berpikir merumuskan hakikat manusia adalah prinsip yang umum dianut oleh para filosof, yaitu mabda’ al-dzatiyyat (prinsip identitas) yang lebih populer dengan sebutan prinsip pertama. Prinsip ini berbunyi : “sesuatu yang ada hanya identik dengan dirinya sendiri.”[4] Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa segala sesuatu yang ada mempunyai identitas yang menandai esensinya dan menunjukkan kebedaannya dari yang lain.
Menurut kajian ilmu, manusia sebagai individu terdiri dari sel-sel daging, tulang, saraf, darah dan lain-lain (materi) yang membentuk jasad. Ilmu mengakui bahwa dalam diri manusia ada jiwa, bahkan penganut teori evolusi pun mengakuinya. Namun, apakah jiwa itu substansi yang berdiri sendiri, ataukah ia hanya merupakan fungsi atau aktivitas jasad dengan organ-organnya.[5]
Lebih lanjut, Al-Ghazali menggambarkan manusia terdiri dari Al-Nafs, Al-ruh dan Al-jism. Al-nafs adalah substansi yang berdiri sendiri, tidak bertempat. Al-ruh adalah panas alam di (al-hararat al-ghariziyyat) yang mengalir pada pembuluh-pembuluh nadi, otot-otot dan syaraf. Sedangkan al-jism adalah yang tersusun dari unsur-unsur materi.[6] Al-jism (tubuh) adalah bagian yang paling tidak sempurna pada manusia. Ia terdiri atas unsur-unsur materi, yang pada suatu saat komposisinya bisa rusak. Karena itu, ia tidak mempunyai daya sama sekali. Ia hanya mempunyai mabda’ thabi’i (prinsip alami),[7] yang memperlihatkan bahwa ia tunduk kepada kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Tegasnya, al-jism tanpa al-ruh dan al-nafs adalah benda mati.
Selain itu, Al-Ghazali juga menyebutkan manusia terdiri dari substansi yang mempunyai dimensi dan substansi (tidak berdimensi) yang mempuyai kemampuan merasa dan bergerak dengan kemauan. Yang pertama adalah al-jism dan yang kedua al-nafs. Di sini, ia tidak membicarakan al-ruh dalam arti sejenis uap yang halus atau panas alami, tetapi ia menggambarkan adanya dua tingkatan al-nafs dibawah al-nafs dalam arti esensi manusia, yaitu al-nafs al-nabatiyyat (jiwa vegetatif) dan al-nafs al-hayawaniyyat (jiwa sensitif).[8] Kedua jiwa ini disebut di bawah jiwa manusia, karena dipunyai secara bersama oleh manusia dan makhluk-makhluk lainnya, tumbuh-tumbuhan untuk yang pertama dan hewan serta tumbuh-tumbuhan untuk yang kedua.
Menurut Al-Ghazali, Jiwa (al-nafs al-nathiqah)sebagai esensi manusia mempunyai hubungan erat dengan badan. Hubungan tersebut diibaratkan seperti hubungan antara penunggang kuda dengan kudanya. Hubungan ini merupakan aktifitas, dalam arti bahwa yang memegang inisiatif adalah penunggang kuda bukan kudanya. Kuda merupakan alat untuk mencapai tujuan. Ini berarti bahwa badan merupakan alat bagi jiwa.[9] Jadi, badan tidak mempunyai tujuan pada dirinya, dan tujuan itu akan ada apabila dihubungkan dengan jiwa, yaitu sebagai alat untuk mengaktualisasikan potensi-potensinya.
Disamping itu, berdasarkan proses penciptaannya, manusia merupakan rangkaian utuh antara komponen materi dan immateri. Komponen materi berasal dari tanah (Q.S. As Sajadah/32:7) dan komponen immateri ditiupkan oleh Allah (Q.S. Al Hijr/15:29). Kesatuan ini memberi makna bahwa di satu sisi manusia sama dengan dunia di luar dirinya (fana), dan disisi lain menandakan bahwa manusia itu mampu mengatasi dunia sekitarnya, termasuk dirinya sebagai jasmani (baqa).[10]
Demikianlah pandangan Al-Ghazali tentang hakikat manusia mengenai hubungan badan dengan jiwa. Dimana, badan hanya sebatas alat sedangkan jiwa yang merupakan memegang inisiatif yang mempunyai kemampuan dan tujuan. Badan tanpa jiwa tidak mempunyai kemampuan apa-apa. Badan tidak mempunyai tujuan, tetapi jiwa yang mempunyai tujuan. Badan menjadi alat untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu, jiwalah nanti yang akan menikmati dan merasakan  bahagia atau sengsaranya di akhirat kelak.

III.      HIKAYAT INSAN
Menurut Al-Ghazali sekalipun manusia itu termasuk dalam golongan hayawaniyah, baik dalam arti luar maupun dalam, akan tetapi ia sebenarnya mempunyai dua sifat keadaan yang sangat menakjubkan bagi dirinya yaitu Ilmu dan Kemauan. Yang dimaksud dengan ilmu ialah kekuatan untuk membina, mempunyai daya cipta yang tidak bisa diraba dan memiliki hakikat kecerdasan. Dengan kemauan atau kehendak yang dimaksud disini ialah nafsu, keinginan yang kuat untuk mencapai tujuan setelah diputuskan oleh pertimbangan akal yang sehat tentang segala akibatnya.[11]
Dengan melihat keadaan dan sifat yang telah penulis sebutkan diatas. Maka hal inilah yang membawa perbedaan antara manusia dengan hewan. Karena pada binatang atau hewan sekalipun ia mempunyai keinginan juga, namun hewan tidak mempunyai pertimbangan akal.
Tabi’at manusia menurut Al-Ghazali ada empat unsur yang menjelma dalam sifat yang dikenal dengan nama kebinatangan, kekasaran, kesyeitanan dan kemalaikatan (kesucian). Oleh karena itu, maka tidak heran apabila dalam tabi’at seseorang itu muncul perbuatan-perbuatan seperti babi, anjing, syaitan dan alim. Sifat babi menggambarkan keserakahan yang menjijikan, bukan dalam hal bentuk dan potongannya akan tetapi dalam kegemaran makan diluar kepantasan. Hanya untuk melepaskan lahap dan nafsunya saja. Kelakuan anjing menggambarkan sifat suka melepaskan hawa nafsu kemarahan, dengan perbuatannya mengonggong dan mengigit yang menyebabkan kerugian dan penderitaan bagi pihak lain. Kelakuan syaitan menggambarkan sifat-sifat yang suka menghasu-hasut, mengaburkan faham dan pengertian yang dimiliki oleh pandangan akal-budi yang sehat dari sifat-sifat kesucian dan ajaran keagamaan, digodanya dan dihasut-hasutnya serta dibujuknya oleh syaitan itu dengan hiasan-hiasan, janji dan kepalsuan. Akal budi yang bersih yang bersih bila dimilikinya selalu bertujuan untuk menolak setiap ajakan dan pengaruh dari sifat-sifat buruk yang ada pada syaitan. Ia akan mengawasi terlebih dahulu ajakan hawa nafsu yang murka.[12]
Terlihat jelas dari uraian diatas apabila akhlak manusia itu merosot, tidak mau mentaati perintah agama dan akal budi yang suci bersih. Maka ia akan dipengaruhi oleh ketiga sifat diatas yaitu kebinatangan, kekasaran dan kesyaitanan yang akan membawanya ke jurang kehancuran dan kebinasaan.

IV.      SIFAT MANUSIA, PENGEMBANGAN DAN PENGETAHUANNYA
Tinjauan filsafat yang lebih menonjol terhadap perbuatan manusia, menurut Al-Ghazali adalah yang menyangkut kebebasan perbuatan manusia dilihat dari segi efektivitasnya. Pandangan terhadap hal ini mempunyai akar pada konsepsi tentang hakikat manusia dan daya-daya yang dimilikinya. Perbuatan-perbuatan itu merupakan hasil determinasi kekuatan-kekuatan lain diluar dirinya. Manusia dalam hal ini adalah tempat berlakunya kekuatan-kekuatan itu.[13]
Di dalam Islam, menurut Al-Ghazali segala sesuatu yang ada di dalam diri manusia dari seleranya yang terendah sampai kelengkapan yang tertinggi, masing-masing mempunyai tempat dan tujuan di dalam mencapai tujuan akhirnya. Dengan mengecualikan “roh”, setiap sifat yang dimiliki manusia mempunyai dua bisikan hati, yakni : Pertama, untuk mendapatkan sesuatu yang dapat memuaskan dirinya sendiri atau dalam mengejar tercapainya kebahagiaan yang sesungguhnya, tanpa menghiraukan akibatnya terhadap perkembangan pribadinya secara utuh. Kedua, dalam rangka memainkan perannya di dalam suatu keselarasan, yang diperlukan antara segala sesuatu yang menjadi dasar kepribadian manusia.[14] Disini terlihat jelas aspek yang pertama itulah yang dapat membuat diri manusia sulit untuk mencapai tujuan hidupnya secara baik.
Al-Ghazali seringkali memperingatkan kita bahwa pengembangan keutuhan diri membutuhkan banyak pengalaman dan pengetahuan yang luas tentang sifat-sifat manusia. Oleh karena itu, sangatlah utama bagi seseorang yang menginginkan kebebasan demikian supaya meneliti rahasia kepribadian manusia dan untuk memahami dasar-dasarnya ia harus tahu kualitas, karakteristik dan sifat yang terdapat pada kepribadian tersebut, agar mengetahui tempat di mana keagungan kepribadian itu berada dan juga mengetahui tempat kemungkinan adanya kerusakan dan kehancuran kepribadian.[15]
Menurut Muhammad Yasir Nasution, pengetahuan tentang sesuatu bukanlah sesuatu yang diketahui itu. Kegiatan mengetahui melibatkan tiga hal yaitu : subyek yang mengetahui, obyek yang diketahui dan pengetahuan (realitas subyektif). Dan lebih lanjut, menurut Al-Ghazali kegiatan mengetahui adalah proses abstraksi. Suatu obyek dalam wujudnya tidak terlepas dari aksidens-aksidens dan atribut-atribut tambahan yang menyelebungi hakikatnya. Ketika subyek berhubungan dengan obyek yang ingin diketahui, hubungan itu melibatkan ukuran (qadar), cara (kayf), tempat dan situasi.[16]
Dengan demikian menurut hemat penulis maka proses abstraksi ini memperlihatkan indera sebagai pintu masuk pengetahuan dan akal sebagai tempat pengetahuan tertinggi.



V.         KESIMPULAN

Dari uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa Al-Ghazali merupakan seorang filosof besar dari kaum muslim yang sebagian besar pandangannya mengenai manusia. Konsep manusia menurut Al-Ghazali sendiri pun hampir sama dengan apa yang ada dalam isi Al-Quran. Karena Al-Ghazali sendiri pun menjadikan Al-Quran sebagai landasan dalam pemikirannya.
Lebih lanjut, sebagaimana pandangan Al-Ghazali tentang manusia seperti yang telah penulis paparkan dalam makalah ini bahwasannya wujud manusia terdiri dari jiwa, al-ruh dan badan, tetapi esensinya adalah jiwa. Jiwa adalah substansi yang berdiri sendiri dan mempunyai sifat-sifat dasar yang berbeda dengan badan. Pandangan tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk metafisik yang wujud kongkretnya dalam bentuk hubungannya dengan badan, untuk tujuan tertentu.
Selain itu, meskipun manusia termasuk ke dalam golongan hayawaniyah. Namun manusia memiliki perbedaannya dengan hewan yaitu memiliki pertimbangan akal atau ilmu.
Dengan demikian terlihat jelas bahwa Al-Ghazali telah menemukan dasar pemahaman yang mendalam pada filsafat tentang manusia. Sehingga dapat memberikan sumbangsinya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang filsafat dan mampu membangkitkan semangat kaum muslim untuk dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan meningkatkan intelektual.







DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, 1968, Ma’arij al-Quds, Kairo : Maktab al-Jundi
_________, 1964, Mi’raj al-Salikin, Kairo : Silsilat Al-saqafat al-Islamiyat
_________, 1964, Mizan al-‘Amal, Kairo : Dar al-Ma’arif
Ali Issa Othman, 1960, Manusia Menurut Al-Ghazali, Sirs El-Layyan : Arab States Fundamental Education Center
Imam Al-Ghazali, Ahli Bahasa : H. Rus’an, 1989, Intisari Filsafat cet-3, Jakarta : PT Bulan Bintang
Samsul Nizar, 2002, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Ciputat Pers
Sidi Gazalba, 1992, Ilmu, Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama, Jakarta : Bulan Bintang
                                                    






[1] R.G. Collingwood, The Idea of History. Lihat : Muhammad Yasir Nasution, Manusia menurut Al-Ghazali cet-4, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 1
[2] Muhammad Yasir Nasution, Ibid, hal. 6
[3] Muhammad Yasir Nasution, Ibid, hal. 71
[4] Ahmad Riyadh Turki, dkk., Turas Al-Insaniyyat, (Kairo :Dar Al-Katib Al-‘Arabi, Jus I, (tth.)), hal. 494. Lihat juga Muhammad Yasir Nasution, Ibid, hal. 74
[5] Sidi Gazalba, Ilmu, Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), hal. 11
[6] Al-Ghazali, Mi’raj al-Salikin, (Kairo : Silsilat Al-saqafat al-Islamiyat, 1964), hal 16
[7] Al-Ghazali, Ma’arij al-Quds, (Kairo : Maktab al-Jundi, 1968), hal. 26
[8] Al-Ghazali, Ibid, hal. 27 & 29
[9] Al-Ghazali, Mizan al-‘Amal, (Kairo : Dar al-Ma’arif, 1964), hal. 338
[10] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Ciputat Pers, 2002), hal. 16
[11] Imam Al-Ghazali, Ahli Bahasa : H. Rus’an, Intisari Filsafat cet-3, (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1989), hal 1
[12]   Imam Al-Ghazali, Ahli Bahasa : H. Rus’an, ibid, hal. 5
[13] Muhammad Yasir Nasution, Manusia menurut Al-Ghazali cet-4, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 162
[14] Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al-Ghazali, (Sirs El-Layyan : Arab States Fundamental Education Center, 1960), hal. 121
[15]   Ali Issa Othman, Ibid, hal. 123
[16]   Muhammad Yasir Nasution, Log.Cit, hal 136

1 komentar: