Kamis, 16 Agustus 2012

MANUSIA DALAM PERSPEKTIF AL-GHAZALI


I.            PENDAHULUAN
Di dalam dunia kehidupan terkhusus dalam pendidikan, konsep manusia sangat penting artinya di dalam suatu sistem pemikiran dan di dalam kerangka berpikir dari seorang pemikir. Sebab ia termasuk bagian dari pandangan hidup. Karena itu, meskipun manusia tetap diakui sebagai misteri yang tidak pernah dapat dimengerti secara tuntas, keinginan untuk mengetahui hakikatnya ternyata tidak pernah berhenti. Menurut R.G. Collingwood konsep manusia penting bukan demi pengetahuan akan manusia itu saja, tetapi yang lebih penting adalah karena ia merupakan syarat bagi pembenaran kritis dan landasan yang aman bagi pengetahuan-pengetahuan manusia.[1] Di dalam sejarah pemikiran islam, pandangan yang mendasar tentang manusia ditemukan pada filsafat dan tasawuf. Namun, menurut Muhammad Yasir Nasution pengaruh Fuqaha dan Mutakallimin yang kuat di dunia Islam menyebabkan pandangan mereka yang negatif terhadap filsafat berkembang, sehingga orang takut berfilsafat. Sehingga serangan yang lebih keras dan sistematis terhadap filsafat adalah yang dilakukan oleh Abu Hamid Al-Ghazali (1058-1111 M).[2]
Konsep pemikiran Al-Ghazali tentang manusia sangat komprehensif. Ia menyatakan pengenalan hakikat diri adalah dasar untuk mengenal Tuhan. Al-Ghazali merupakan salah satu ulama yang juga pemikir besar muslim yang karya-karyanya banyak menyinggung masalah manusia. Beliau merupakan orang yang ulet dalam mencari dan menggeluti segala pengetahuan yang hendak di ketahuinya untuk mencapai keyakinan dan hakikat dari suatu kebenaran.
  Berdasarkan hal ini, maka dalam tulisan ini akan dijelaskan tentang Manusia dalam Perspektif Al-Ghazali yang meliputi, diantaranya : (1) Hakikat Manusia, (2) Hikayat Insan, dan (3) Sifat Manusia, Pengembangan dan Pengetahuannya. Semoga dengan kajian ini kita dapat mengetahui pola pemikiran dari Al-Ghazali tentang manusia yang dapat membangkitkan kembali pemikiran intelektual dari kaum muslim.

II.         HAKIKAT MANUSIA
Hakikat berasal dari kata Arab Al-haqiqat, yang berarti kebenaran dan esensi. Dalam pengertian ini, Muhammad Yasir Nasution mengungkapkan bahwa hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah. Yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya sendiri dan membedakannya dari yang lainnya.[3] Lebih lanjut, yang mendasari jalan berpikir merumuskan hakikat manusia adalah prinsip yang umum dianut oleh para filosof, yaitu mabda’ al-dzatiyyat (prinsip identitas) yang lebih populer dengan sebutan prinsip pertama. Prinsip ini berbunyi : “sesuatu yang ada hanya identik dengan dirinya sendiri.”[4] Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa segala sesuatu yang ada mempunyai identitas yang menandai esensinya dan menunjukkan kebedaannya dari yang lain.
Menurut kajian ilmu, manusia sebagai individu terdiri dari sel-sel daging, tulang, saraf, darah dan lain-lain (materi) yang membentuk jasad. Ilmu mengakui bahwa dalam diri manusia ada jiwa, bahkan penganut teori evolusi pun mengakuinya. Namun, apakah jiwa itu substansi yang berdiri sendiri, ataukah ia hanya merupakan fungsi atau aktivitas jasad dengan organ-organnya.[5]
Lebih lanjut, Al-Ghazali menggambarkan manusia terdiri dari Al-Nafs, Al-ruh dan Al-jism. Al-nafs adalah substansi yang berdiri sendiri, tidak bertempat. Al-ruh adalah panas alam di (al-hararat al-ghariziyyat) yang mengalir pada pembuluh-pembuluh nadi, otot-otot dan syaraf. Sedangkan al-jism adalah yang tersusun dari unsur-unsur materi.[6] Al-jism (tubuh) adalah bagian yang paling tidak sempurna pada manusia. Ia terdiri atas unsur-unsur materi, yang pada suatu saat komposisinya bisa rusak. Karena itu, ia tidak mempunyai daya sama sekali. Ia hanya mempunyai mabda’ thabi’i (prinsip alami),[7] yang memperlihatkan bahwa ia tunduk kepada kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Tegasnya, al-jism tanpa al-ruh dan al-nafs adalah benda mati.
Selain itu, Al-Ghazali juga menyebutkan manusia terdiri dari substansi yang mempunyai dimensi dan substansi (tidak berdimensi) yang mempuyai kemampuan merasa dan bergerak dengan kemauan. Yang pertama adalah al-jism dan yang kedua al-nafs. Di sini, ia tidak membicarakan al-ruh dalam arti sejenis uap yang halus atau panas alami, tetapi ia menggambarkan adanya dua tingkatan al-nafs dibawah al-nafs dalam arti esensi manusia, yaitu al-nafs al-nabatiyyat (jiwa vegetatif) dan al-nafs al-hayawaniyyat (jiwa sensitif).[8] Kedua jiwa ini disebut di bawah jiwa manusia, karena dipunyai secara bersama oleh manusia dan makhluk-makhluk lainnya, tumbuh-tumbuhan untuk yang pertama dan hewan serta tumbuh-tumbuhan untuk yang kedua.
Menurut Al-Ghazali, Jiwa (al-nafs al-nathiqah)sebagai esensi manusia mempunyai hubungan erat dengan badan. Hubungan tersebut diibaratkan seperti hubungan antara penunggang kuda dengan kudanya. Hubungan ini merupakan aktifitas, dalam arti bahwa yang memegang inisiatif adalah penunggang kuda bukan kudanya. Kuda merupakan alat untuk mencapai tujuan. Ini berarti bahwa badan merupakan alat bagi jiwa.[9] Jadi, badan tidak mempunyai tujuan pada dirinya, dan tujuan itu akan ada apabila dihubungkan dengan jiwa, yaitu sebagai alat untuk mengaktualisasikan potensi-potensinya.
Disamping itu, berdasarkan proses penciptaannya, manusia merupakan rangkaian utuh antara komponen materi dan immateri. Komponen materi berasal dari tanah (Q.S. As Sajadah/32:7) dan komponen immateri ditiupkan oleh Allah (Q.S. Al Hijr/15:29). Kesatuan ini memberi makna bahwa di satu sisi manusia sama dengan dunia di luar dirinya (fana), dan disisi lain menandakan bahwa manusia itu mampu mengatasi dunia sekitarnya, termasuk dirinya sebagai jasmani (baqa).[10]
Demikianlah pandangan Al-Ghazali tentang hakikat manusia mengenai hubungan badan dengan jiwa. Dimana, badan hanya sebatas alat sedangkan jiwa yang merupakan memegang inisiatif yang mempunyai kemampuan dan tujuan. Badan tanpa jiwa tidak mempunyai kemampuan apa-apa. Badan tidak mempunyai tujuan, tetapi jiwa yang mempunyai tujuan. Badan menjadi alat untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu, jiwalah nanti yang akan menikmati dan merasakan  bahagia atau sengsaranya di akhirat kelak.

III.      HIKAYAT INSAN
Menurut Al-Ghazali sekalipun manusia itu termasuk dalam golongan hayawaniyah, baik dalam arti luar maupun dalam, akan tetapi ia sebenarnya mempunyai dua sifat keadaan yang sangat menakjubkan bagi dirinya yaitu Ilmu dan Kemauan. Yang dimaksud dengan ilmu ialah kekuatan untuk membina, mempunyai daya cipta yang tidak bisa diraba dan memiliki hakikat kecerdasan. Dengan kemauan atau kehendak yang dimaksud disini ialah nafsu, keinginan yang kuat untuk mencapai tujuan setelah diputuskan oleh pertimbangan akal yang sehat tentang segala akibatnya.[11]
Dengan melihat keadaan dan sifat yang telah penulis sebutkan diatas. Maka hal inilah yang membawa perbedaan antara manusia dengan hewan. Karena pada binatang atau hewan sekalipun ia mempunyai keinginan juga, namun hewan tidak mempunyai pertimbangan akal.
Tabi’at manusia menurut Al-Ghazali ada empat unsur yang menjelma dalam sifat yang dikenal dengan nama kebinatangan, kekasaran, kesyeitanan dan kemalaikatan (kesucian). Oleh karena itu, maka tidak heran apabila dalam tabi’at seseorang itu muncul perbuatan-perbuatan seperti babi, anjing, syaitan dan alim. Sifat babi menggambarkan keserakahan yang menjijikan, bukan dalam hal bentuk dan potongannya akan tetapi dalam kegemaran makan diluar kepantasan. Hanya untuk melepaskan lahap dan nafsunya saja. Kelakuan anjing menggambarkan sifat suka melepaskan hawa nafsu kemarahan, dengan perbuatannya mengonggong dan mengigit yang menyebabkan kerugian dan penderitaan bagi pihak lain. Kelakuan syaitan menggambarkan sifat-sifat yang suka menghasu-hasut, mengaburkan faham dan pengertian yang dimiliki oleh pandangan akal-budi yang sehat dari sifat-sifat kesucian dan ajaran keagamaan, digodanya dan dihasut-hasutnya serta dibujuknya oleh syaitan itu dengan hiasan-hiasan, janji dan kepalsuan. Akal budi yang bersih yang bersih bila dimilikinya selalu bertujuan untuk menolak setiap ajakan dan pengaruh dari sifat-sifat buruk yang ada pada syaitan. Ia akan mengawasi terlebih dahulu ajakan hawa nafsu yang murka.[12]
Terlihat jelas dari uraian diatas apabila akhlak manusia itu merosot, tidak mau mentaati perintah agama dan akal budi yang suci bersih. Maka ia akan dipengaruhi oleh ketiga sifat diatas yaitu kebinatangan, kekasaran dan kesyaitanan yang akan membawanya ke jurang kehancuran dan kebinasaan.

IV.      SIFAT MANUSIA, PENGEMBANGAN DAN PENGETAHUANNYA
Tinjauan filsafat yang lebih menonjol terhadap perbuatan manusia, menurut Al-Ghazali adalah yang menyangkut kebebasan perbuatan manusia dilihat dari segi efektivitasnya. Pandangan terhadap hal ini mempunyai akar pada konsepsi tentang hakikat manusia dan daya-daya yang dimilikinya. Perbuatan-perbuatan itu merupakan hasil determinasi kekuatan-kekuatan lain diluar dirinya. Manusia dalam hal ini adalah tempat berlakunya kekuatan-kekuatan itu.[13]
Di dalam Islam, menurut Al-Ghazali segala sesuatu yang ada di dalam diri manusia dari seleranya yang terendah sampai kelengkapan yang tertinggi, masing-masing mempunyai tempat dan tujuan di dalam mencapai tujuan akhirnya. Dengan mengecualikan “roh”, setiap sifat yang dimiliki manusia mempunyai dua bisikan hati, yakni : Pertama, untuk mendapatkan sesuatu yang dapat memuaskan dirinya sendiri atau dalam mengejar tercapainya kebahagiaan yang sesungguhnya, tanpa menghiraukan akibatnya terhadap perkembangan pribadinya secara utuh. Kedua, dalam rangka memainkan perannya di dalam suatu keselarasan, yang diperlukan antara segala sesuatu yang menjadi dasar kepribadian manusia.[14] Disini terlihat jelas aspek yang pertama itulah yang dapat membuat diri manusia sulit untuk mencapai tujuan hidupnya secara baik.
Al-Ghazali seringkali memperingatkan kita bahwa pengembangan keutuhan diri membutuhkan banyak pengalaman dan pengetahuan yang luas tentang sifat-sifat manusia. Oleh karena itu, sangatlah utama bagi seseorang yang menginginkan kebebasan demikian supaya meneliti rahasia kepribadian manusia dan untuk memahami dasar-dasarnya ia harus tahu kualitas, karakteristik dan sifat yang terdapat pada kepribadian tersebut, agar mengetahui tempat di mana keagungan kepribadian itu berada dan juga mengetahui tempat kemungkinan adanya kerusakan dan kehancuran kepribadian.[15]
Menurut Muhammad Yasir Nasution, pengetahuan tentang sesuatu bukanlah sesuatu yang diketahui itu. Kegiatan mengetahui melibatkan tiga hal yaitu : subyek yang mengetahui, obyek yang diketahui dan pengetahuan (realitas subyektif). Dan lebih lanjut, menurut Al-Ghazali kegiatan mengetahui adalah proses abstraksi. Suatu obyek dalam wujudnya tidak terlepas dari aksidens-aksidens dan atribut-atribut tambahan yang menyelebungi hakikatnya. Ketika subyek berhubungan dengan obyek yang ingin diketahui, hubungan itu melibatkan ukuran (qadar), cara (kayf), tempat dan situasi.[16]
Dengan demikian menurut hemat penulis maka proses abstraksi ini memperlihatkan indera sebagai pintu masuk pengetahuan dan akal sebagai tempat pengetahuan tertinggi.



V.         KESIMPULAN

Dari uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa Al-Ghazali merupakan seorang filosof besar dari kaum muslim yang sebagian besar pandangannya mengenai manusia. Konsep manusia menurut Al-Ghazali sendiri pun hampir sama dengan apa yang ada dalam isi Al-Quran. Karena Al-Ghazali sendiri pun menjadikan Al-Quran sebagai landasan dalam pemikirannya.
Lebih lanjut, sebagaimana pandangan Al-Ghazali tentang manusia seperti yang telah penulis paparkan dalam makalah ini bahwasannya wujud manusia terdiri dari jiwa, al-ruh dan badan, tetapi esensinya adalah jiwa. Jiwa adalah substansi yang berdiri sendiri dan mempunyai sifat-sifat dasar yang berbeda dengan badan. Pandangan tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk metafisik yang wujud kongkretnya dalam bentuk hubungannya dengan badan, untuk tujuan tertentu.
Selain itu, meskipun manusia termasuk ke dalam golongan hayawaniyah. Namun manusia memiliki perbedaannya dengan hewan yaitu memiliki pertimbangan akal atau ilmu.
Dengan demikian terlihat jelas bahwa Al-Ghazali telah menemukan dasar pemahaman yang mendalam pada filsafat tentang manusia. Sehingga dapat memberikan sumbangsinya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang filsafat dan mampu membangkitkan semangat kaum muslim untuk dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan meningkatkan intelektual.







DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, 1968, Ma’arij al-Quds, Kairo : Maktab al-Jundi
_________, 1964, Mi’raj al-Salikin, Kairo : Silsilat Al-saqafat al-Islamiyat
_________, 1964, Mizan al-‘Amal, Kairo : Dar al-Ma’arif
Ali Issa Othman, 1960, Manusia Menurut Al-Ghazali, Sirs El-Layyan : Arab States Fundamental Education Center
Imam Al-Ghazali, Ahli Bahasa : H. Rus’an, 1989, Intisari Filsafat cet-3, Jakarta : PT Bulan Bintang
Samsul Nizar, 2002, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Ciputat Pers
Sidi Gazalba, 1992, Ilmu, Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama, Jakarta : Bulan Bintang
                                                    






[1] R.G. Collingwood, The Idea of History. Lihat : Muhammad Yasir Nasution, Manusia menurut Al-Ghazali cet-4, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 1
[2] Muhammad Yasir Nasution, Ibid, hal. 6
[3] Muhammad Yasir Nasution, Ibid, hal. 71
[4] Ahmad Riyadh Turki, dkk., Turas Al-Insaniyyat, (Kairo :Dar Al-Katib Al-‘Arabi, Jus I, (tth.)), hal. 494. Lihat juga Muhammad Yasir Nasution, Ibid, hal. 74
[5] Sidi Gazalba, Ilmu, Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), hal. 11
[6] Al-Ghazali, Mi’raj al-Salikin, (Kairo : Silsilat Al-saqafat al-Islamiyat, 1964), hal 16
[7] Al-Ghazali, Ma’arij al-Quds, (Kairo : Maktab al-Jundi, 1968), hal. 26
[8] Al-Ghazali, Ibid, hal. 27 & 29
[9] Al-Ghazali, Mizan al-‘Amal, (Kairo : Dar al-Ma’arif, 1964), hal. 338
[10] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Ciputat Pers, 2002), hal. 16
[11] Imam Al-Ghazali, Ahli Bahasa : H. Rus’an, Intisari Filsafat cet-3, (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1989), hal 1
[12]   Imam Al-Ghazali, Ahli Bahasa : H. Rus’an, ibid, hal. 5
[13] Muhammad Yasir Nasution, Manusia menurut Al-Ghazali cet-4, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 162
[14] Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al-Ghazali, (Sirs El-Layyan : Arab States Fundamental Education Center, 1960), hal. 121
[15]   Ali Issa Othman, Ibid, hal. 123
[16]   Muhammad Yasir Nasution, Log.Cit, hal 136

Selasa, 07 Agustus 2012

PENGEMBANGAN ILMU KEDOKTERAN, MATEMATIKA DAN ASTRONOMI PADA REZIM DINASTI ABBASIYAH


PENDAHULUAN
Salah satu hal yang membedakan kemajuan yang dicapai pada masa Abbasiyah dengan masa-masa yang lainnya adalah berkembangannya peradaban Islam. Bahkan pada masa ini peradaban islam mencapai puncaknya. Dan salah satu wujud peradaban tersebut adalah pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, filsafat, dan ilmu-ilmu lainnya.
Kemajuan yang dicapai oleh umat Islam di Era Abbasiyah tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu agama atau yang biasa diistilahkan dengan `ulūm naqliyah saja, melainkan juga disertai dengan kemajuan ilmu-ilmu sains dan teknologi (`ulūm aqliyah).
Bahkan jika dicermati, kemajuan sains di dunia Islam mendahului perkembangan ilmu filsafat yang juga berkembang pesat di era Abbasiyah. Hal ini bisa jadi merupakan buah dari kecenderungan bangsa Arab saat itu yang lebih mengutamakan penerjemahan buku-buku sains yang memiliki implikasi kemanfaatan secara langsung bagi kehidupan mereka (dzāt al-atsar al-māddi fī hayātihim) dibanding buku-buku olah pikir (filsafat). Kemajuan yang dicapai pada era ini telah banyak memberikan sumbangan besar kepada peradaban manusia modern dan sejarah ilmu pengetahun masa kini.
Dalam makalah ini, pemakalah akan memaparkan pengembangan ilmu kedokteran, matematika dan astronomi yang terjadi pada rezim Abbasiyah serta tokoh-tokoh yang menonjol pada bidang tersebut.





 “PENGEMBANGAN ILMU KEDOKTERAN, MATEMATIKA DAN ASTRONOMI PADA ZAMAN REZIM ABBASIYAH”

ASA USUL PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN PADA DINASTI  ABBASIYAH
            Dinasti ini didirikan pada tahun 750 M-132 H oleh Abdullah Al-Saffah Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Al-Abbas, salah seoranf keturunan paman Nabi Muhammad, Al-Abbas. Asal-usul Dinasti Abbasiyah diawali oleh pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh keturunan Abbas, paman Nabi yaitu Muhammad Ibn Ali, kemudian Ibrahim Ibn Muhammad sampai Abu Al-Abbas yang bergelar Al-Saffah, terhadap pemerintahan Dinasti Bani Umayyah. Pemberontakan-pemberontakan tersebut dilakukan secara terus menerus dan terorganisasi sehingga pada akhirnya terjadi revolusi menumbangkan Dinasti bani Umayyah.
            Sungguhpun Abu Al-Abbas Al-Saffah yang mendirikan Dinasti Abbasiyah, namun pembina sebenarnya adalah Abu Ja’far Al-Mansur yang memerintahkan selama 21 tahun yaitu dari tahun 754 M/ 136 H – 775 M/158 H. Abu Al-Abbas hanya memerintah selama lima tahun yaitu dari tahun 750 M/132 H-754 M/136 H.[1]
            Bermula dari penyakit Al-Manshur yang menyebabkan di datangkannya dokter Nestoria yang termansyhur, Jurjis Ibn Bakhti Yashu dari Akademi Kedokteran jundi Syapur ke istana Abbasiyah, suatu peristiwa yang paling luas pengaruhnya atas perkembangan sains dan seni pengobatan pada masa mendatang. Perawatan itu berhasil dan keluarga Bakhti Yashu generasi demi generasi hidup makmur di Baghdad sebagai dokter-dokter istana. Mereka membangkitkan studi karya-karya besar Hippocrates (436 SM) dan Galen (200 M).
            Kemudian munculnya seorang ahli Matematika dan Astronomi India ke Istana Al-Manshur pada tahun 773 dengan membawa sebuah buku Siddhanta menyebabkan penyokong ilmu itu memerintahkan penerjemahan karya tersebut ke dalam bahasa Arab. Muhammad Ibn Ibrahim Al-Fazari melaksanakan tugas itu dengan bantuan orang-orang yang cakap, dan dalam waktu beberapa tahun Irak melahirkan sejumlah ahli Astronomi yang tidak hanya menguasai seluruh ilmu pengetahuan yang ada pada waktu itu, tetapi juga sekali-kali memberikan sumbangan yang asli terhadapnya hingga akhir abad ke-14.[2]
            Etos keilmuan para Khalifah Abbasiyah tampak menonjol terutama pada dua khalifah terkemuka yaitu Harun Al-Rasyid dan Al-Ma’mun yang begitu mencintai ilmu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa peradaban Islam diprakarsai oleh penguasa atau memperoleh patronase penguasa yang dalam hal ini diawali pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid dan Al-Ma’mun.[3]
            Setelah kematian Harun Al-Rasyid, ketika Al-Ma’mun menggantikannya pada tahta Abbasiyah dia membangun kembali Bagdad dan mendirikan Darul Hikmah yang unik tempat sekelompok penerjemah ahli dan para penyelidik asli memperkaya bahasa Arab dengan produk-produk terbaik sains dan filsafat Yunani. Yang paling utama diantata staf para penerjemahnya adalah orang Nestoria, Hunain Ibn Ishaq (809-873), yang terutama sibuk dengan penerjemahan karya-karya Yunani tentang kedokteran dan filsafat.[4]
            Ciri paling menonjol dari kemajuan intelektual kaum Muslim adalah penemuan teori-teori di bidang ilmu pengetahuan alam atau eksakta. Ilmu eksakta yang dimaksud disini adalah ilmu-ilmu yang membahas masalah yang bersifat empiris dan bersifat “pasti”. Oleh karena itu, ilmu eksakta disebut pula ilmu pasti.  Dan penemuan ini lebih bersifat kepeloporan daripada pengembangan ilmu yang sudah ada. Penelitian-penelitian di bidang eksakta dilakukan dengan sangat intens oleh para ahli sains kealaman tersebut sehingga penelitian mereka menjadi dasar bagi penelitian berikutnya yang dilakukan oleh orang lain. Disiplin-disiplin ilmu yang menonjol dielaborasi kaum Muslim diantaranya Astronomi, Kedokteran, dan Matematika.
            Berikut ini pemakalah akan memaparkan orang-orang yang terkenal dalam sumbangsinya untuk mengembangkan ilmu Kedokteran, Matematika dan Astronomi pada zaman Dinasti Abbasiyah.
A.    ILMU KEDOKTERAN
Kedokteran pertama kali dikenal kaum Muslim setelah penaklukan kerajaan Sassaniah di Persia. Mereka mulai mengenal ilmu kedokteran Yunani di pusat-pusat pendidikan Nestoris dan Neoplatonis di Mesopotamia Utara. Kota Jundishapur berperan sebagai pusat kajian dan praktik kedokteran serta menjadi faktor yang paling berpengaruh dalam perkembangan di daerah-daerah islam pada abad-abad berikutnya.
Kaum muslim menerima ilmu kedokteran Yunani melalui karya-karya Galen, seorang dokter dan penulis peripatetik yang hidup pada paruh terakhir abad kedua Masehi. Galen mengumpulkan dan menafsirkan kedokteran Yunani sejak zaman Hippocrates sampai zamannya sendiri. Seperti halnya Aristoteles yang mendominasi pemikiran filsafat dan sains muslim, ensiklopedi kedokteran karya Galen mendominasi bidang kedokteran muslim hingga abad ke-16. Ahli-ahli kedokteran Muslim menerima pandangannya sebagai otoriatif.
Dokter-dokter terkenal dan paling terkemuka yang dilahirkan dunia Muslim adalah Al-Razi dan Ibnu Sina.
Muhammad Ibn Zakariya Al-Razi (865-925 M / 251-313 H) pada awalnya menyibukkan diri dalam bidang kimia. Setelah menggeluti bidang kimia ia menjadi dokter yang terkenal. Diantara karya medisnya yang terpenting adalah Al-Hawi yang sangat terkenal di dunia Barat Latin. Ini adalah karya tunggal mengenai ilmu medis dan memuat banyak observasi yang dilakukan oleh Al-Razi sendiri. Pengaruh Al-Razi dalam dunia islam dan juga di Barat terutama adalah di bidang medis dan kimia.
Abu Ali Al-Husain Ibn Sina (980-1037 M / 370-428 H) diberi gelar Syaikh Al-Rais, pemimpin para cendikiawan. Ibn Sina adalah tokoh filsuf dan saintis terbesar islam dan tokoh paling berpengaruh dalam bidang umum, kedokteran, seni dan sains. Diantara karyanya yang paling masyhur adalah Al-Qanun fi Al-Tibb yang merupakan ikhtisar pengobatan islam  dan diajarkan hingga kini di Timur. Pengaruh Ibn Sina di Barat dan Timur sangat besar. Dalam dunia islam semangatnya mendominasi aktivitas intelektual dari semua periode sesudahnya sedangkan filsafat dan ilmu medisnya berlanjut sebagai pengaruh yang hidup masa kini.[5] Ilmu kedokteran merupakan salah satu ilmu yang mengalami perkembangan yang sangat pesat pada masa Bani Abbasiyah pada masa itu telah didirikan apotek pertama di dunia, dan juga telah didirikan sekolah farmasi. [6]
Selain itu, dianatra ilmuwan-ilmuwan Muslim yang menonjol di bidang ini juga teradapat diantaranya : ‘Ali bin Al-Abbas (W. 384 H), Ibn Al-Jazzar (W. 1009 M),  Abu Al-Qasim Al-Zahrawi (W. 1013 H), Abu Marwan Abdullah bin Zuhr Al-Isya-bili Al-Andalusi (W. 1162 H), ‘Ala Al-Din ‘Ali bin Abi Hazam Al-Quraysi Al-Dimsyqi yang digelar Ibn Al-Nafis (W. 1288 H) dan Ibn Al-Khatimah (W. 1369 H).[7]

B.     ILMU MATEMATIKA
Diantara ilmu yang dikembangkan pada masa pemerintahan Abbasiyah adalah ilmu hisab atau matematika. Ilmu ini berkembang karena kebutuhan dasar pemerintahan untuk menentukan waktu yang tepat. Dalam setiap pembangunan semua sudut harus dihitung dengan tepat, supaya tidak terdapat kesalahan dalam pembangunan gedung-gedung dan sebagainya.[8]
Dalam bidang Matematika nama Muhammad Ibn Musa Al-Khawarizmi (W. 863 M / 249 H) sangat terkenal dengan penemuan-penemuannya. Ia menjadi saintis terkenal di istana Al-Ma’mun dan turut serta mengukur derajat busur bersama komisi ahli astronomi yan dibentuk oleh Al-Ma’mun untuk tugas ini.
Karya Al-Khawarizmi di bidang Matematika mempunyai pengaruh hebat dan lebih besar dibanding karya ahli matematika mana pun. Tulisannya Aljabar merupakan karya pertama Muslim dalam aljabar dan menjadi nama tersendiri dalam bidang sains ini. Ia memperkenalkan bilangan India kepada dunia Muslim. Dan melalui karya aritmatikanya, Barat mengenal bilangan mereka namakan bilangan Arab. Pengaruhnya dibuktikan oleh fakta bahwa Algorisme, sebutan Latin untuk Al-Khawarizmi, untuk masa yang lama berarti Aritmatika dalam sebagian besar bahasa Eropa, dan digunakan sekarang untuk metode penghitungan berulang yang telah menjadi satu aturan yang tetap.[9]
Umar Al-Khayam dan Al-Thusi adalah ulama yang terkenal dalam bidang ilmu Matematika. Angka Nol adalah ciptaan umat Islam. Pada tahun 873 M, angka nol telah dipakai di Dunia Islam. Angka-angka yang dipakai ulama di Dunia Islam dibawa para ilmuwan ke Eropa pada tahun 1202 M. Oleh karena itu, angka 0 sampai angka 9 yang dipakai sekarang, di Eropa disebut angka Arab.
Jasa atau fungsi umat Islam terhadap peradaban dunia adalah ditemukannya angka Arab dan nol yang dengan angka tersebut Matematika menjadi efektif dan begitu cepat berkembang. Sebelumnya, matematika dinilai lambat berkembang karena menggunakan angka Romawi, seperti I, II, III, IV, V dan seterusnya.[10]

C.     ILMU ASTRONOMI
Dalam Astronomi, kaum Muslim meneruskan tradisi Ptolemeus yang tampaknya hampir dilupakan orang. Pada masa keemasan kegiatan intelektual Alexandria, Ptolemeus menulis karya-karya penting dalam bidang sains dan Astronomi yang akhirnya masuk ke dunia Islam. Karyanya dibidang ini adalah Almagest. Ptolemeus memperoleh tempatnya dalam sejarah kerena teorinya yang sistematis tentang susunan bintang, sebuah kerangka geografi dan empat bukunya dalam astronomi.
Astronomi dikembangkan oleh kaum Muslim dengan berbagai tujuan, terutama yang berkaitan dengan kesempurnaan menjalankan ibadat, seperti kebutuhan untuk mengetahui arah kiblat, penentuan, waktu shalat, penentuan kalender, dan untuk pengamatan gerak benda langit. Tokoh paling menonjol di bidang ini adalah Ibn Al-Haitsam atau Alhazen.
Disamping itu, Salah satu prestasi terpenting dibuat oleh Fakr Al-Din Al-Razi (1209 M/ 606 H) yang mempertanyakan klaim Aristoteles bahwa bintang-bintang diam dan berjarak sama dari bumi. Ia juga mempertanyakan klaim bahwa gerakan benda langit adalah sama.[11]
Selain itu, diantara umat Islam yang terkenal ilmunya dalam bidang astronomi adalah Umar Khayam dan Al-Farazi. Mereka menulis buku-buku tentang astronomi yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin untuk kemudian diajarkan di Eropa. Kemajuan Astronomi di dunia islam ditandai dengan didirikannya observatorium di berbagai kota seperti Bagdad, Kairo, Damaskus, seville dan Andalusia.
Kalender yang dibuat oleh Umar Al-Khayam ternyata dinilai lebih akurat daripada kalender yang dibuat oleh Gregorius. Gregorius membuat perbedaan 1 hari dalam 330 tahun, sedangkan Umar Khayam membuat perbedaan 1 hari dalam 500 tahun.[12]
Selain itu, diantara ilmuwan-ilmuwan Muslim yang menonjol di bidang ini juga teradapat diantaranya :
1.      Abu Raihan Muhammad bin Ahmad Al Biruni (w. 442 H)
Seorang ahli astronomi dan ilmu pasti terkenal dari Persia yang pernah ditinggal di Ghazna, Afghanistan. Dia banyak menyusun buku tentang geometri, aritmatika, astronomi dan astrologi. Di antaranya adalah “Al Atsar Al Baqiyah ‘an Al Quran Al Khaliyah” (membicarakan tentang kalender dari penduduk purbakala), “At Tafhim li Awail Shina ‘At Tanjim (berisi tanya jawab singkat tentang geometri dan astronomi).
2.      Abu Al Qasim Maslamah Al Majriti (w. 398 H). Seorang ahli astronomi dari Cordova. Dalam bidang astronomi ia melakukan koreksi terhadap daftar zij yang ditulis oleh Al Khawarizmi dan dalam bidang matematika ia mendapat julukan “Al Hasib”.
3.      Jabir bin Aflah (w. 545 H). Yang dalam literatur Barat dikenal dengan nama Geber Filius. Dia ialah sarjana astronomi asal Sevilla yang menyusun buku astronomi berjudul “Kitab Al Hai’ah”.  Dalam buku ini juga diuraikan tentang perhitungan bidang lingkaran dan ilmu ukur sudut bidang datar.[13]










KESIMPULAN

Dari pembahasan ini maka dapat pemakalah simpulkan. Perkembangan ilmu pengetahuan yang berlangsung pada zaman Abbasiyah hampir belum ditemukan kesamaannya dalam perkembangan peradaban dunia Islam sesudahnya. Seperti dapat kita lihat peran tokoh muslim yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang ilmu kedokteran, matematika dan astronomi. Diantaranya dari bidang ilmu kedokteran, dokter-dokter terkenal dan paling terkemuka yang dilahirkan dunia Muslim adalah Al-Razi dan Ibnu Sina. Dalam bidang Matematika nama Muhammad Ibn Musa Al-Khawarizmi (W. 863 M / 249 H) sangat terkenal dengan penemuan-penemuannya. Selain itu, diantara umat Islam yang terkenal ilmunya dalam bidang astronomi adalah Umar Khayam dan Al-Farazi.
Kemajuan peradaban dan pengetahuan pada masa Abbasiyah, sebagai jawaban bahwa Islam sebenarnya tidak pernah tertinggal. Jika kemudian tidak sesuai dengan kenyataan hari ini, maka kesalahan umat yang meninggalkan ajaran agamanya. Cetusan dan gagasan umat Islam sangat berarti dalam perkembangan berbagai jenis bidang ilmu di Eropa dan Barat.
Kini kita tidak boleh berbangga dengan masa lalu yang gemilang, tetapi belajar, bekerja dan berkarya terus untuk membuktikan keislaman yang sebenarnya. Dunia saat ini terlanjur mencap Islam kolot, tertinggal dalam berbagai bidang, bahkan dianggap teroris. Cap-cap itu tidak mesti dilawan dengan kekerasan tetapi harus dihadapi dengan belajar keras untuk memperbaiki kualitas umat. Hanya dengan cara itu, Islam kembali dikagumi, dihargai, dan disegani.





DAFTAR PUSTAKA

Akmal Hawi, 2008, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Palembang : IAIN Raden Fatah Press
Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, 2003, Metodologi Studi Islam cet. keenam, Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Didin saefuddin, 2002, Zaman Keemasan Islam, Jakarta : PT Grasindo Hasan
Hasan Langgulung, 2003, Pendidikan Islam dalam Abad 21 cet. Ketiga, Jakarta : PT Pustaka Al Husna Baru



[1] Didin saefuddin, Zaman Keemasan Islam, (Jakarta : PT Grasindo, 2002), hal 1-2
[2] Akmal Hawi, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Palembang : IAIN Raden Fatah Press, 2008), hal 143-144
[3] Didin saefuddin, Op.Cit, hal 148
[4]Akmal Hawi, Op.Cit, hal 146
[5] Didin saefuddin, Op.Cit, hal 181-184
[7] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam dalam Abad 21 cet. Ketiga, (Jakarta : PT Pustaka Al Husna Baru, 2003), hal 50
[9] Didin saefuddin, Zaman Keemasan Islam, (Jakarta : PT Grasindo, 2002), hal 184-185
[10] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam cet. keenam, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2003), hal 23
[11] Didin saefuddin, Op.Cit, hal 181
[12] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Op.Cit, hal 23